POSTCARD "SEPTEMBER"
Aris Yaitu
|
Postcard Transfer Media ( on hardboard ) Aris yaitu
|
|
|
|
|
September
Banyak peristiwa penting dan bersejarah tercatat, baik di
Indonesia maupun dunia pada bulan September. Baik itu tentang kelahiran, kematian, perayaan, hingga persoalan politik sekalipun, dan lain sebagainya. Dibulan tersebut, tak
sedikit pula cerita-cerita individu menghiasi deretan bulan dengan hari
berjumlah 30 ini; pertemuan, perpisahan, kehilangan, kematian, pencarian jati diri
dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa dan cerita-cerita tersebut kemudian
disampaikan lewat media kartu pos. Sebuah media tradisional yang memiliki
sentuhan personal. Media yang masih memiliki potensi untuk menyebarkan berita,
tempat wisata, kuliner, seni budaya, dan termasuk seni rupa, dari negeri
sendiri hingga seluruh dunia.
Dari kecintaan saya dan dua orang kawan : Rana Wijayasoe dan Irfan Fatchu Rahman terhadap kartu pos, munculah gagasan untuk membuat pameran ini. Melalui proses ngobral-ngobrol yang cukup lama dan panjang akhirnya kami bersepakat untuk memberi tema pameran kartu pos ini "September".
Kartu Pos Lintas Zaman
[Pengantar katalog pameran]
Oleh Ari Murdianto
Lebih dari seratus tahun lalu, pada tahun 1869, sebuah benda pos
bernama Correspondez-Karte diluncurkan di Austria. Benda pos yang berfungsi
untuk berkorespondensi dan lebih dikenal luas sebagai kartu pos ini mulai
diketahui khalayak Amerika pada tahun 1893
saat digelar World Columbian Exposition, suatu acara peringatan penemuan Benua
Amerika oleh Columbus. Kartu pos menjadi sebuah tren pada awal sampai
pertengahan abad ke-20. Di Indonesia sendiri pada kurun waktu 1920 - 1930
banyak perusahaan yang menggunakan kartu pos untuk ajang promosi.
Zaman sudah berubah. Semenjak arus informasi menjadi serba cepat
dan alat-alat pengirim pesan semakin canggih di era digital ini,
berkorespondensi menggunakan kartu pos mulai ditinggalkan. Alat komunikasi
manusia jarak jauh yang menggunakan tulisan tangan dan dikirim melalui layanan
pos mulai digantikan oleh perangkat elektronik berpapan kunci yang hanya dengan
menekan sebuah tombol sampailah pesan ke orang yang dituju.
Namun pamor kartu pos di era digital ini rupanya belum padam.
Banyak juga para pecinta kartu pos yang masih setia dengan cara berkirim pesan
tradisional ini. Sebuah situs proyek online yang memungkinkan para anggotanya
untuk mengirim dan menerima kartu pos dari seluruh dunia bernama postcrossing.com memiliki 400 ribu lebih
anggota yang aktif berkirim kartu pos dengan lebih dari 19 juta kartu terkirim.
Anggota postcrossing dari Indonesia
sendiri berjumlah 3.176 orang dengan jumlah kartu pos terkirim 49.952 (data
15/9/2013). Belum lagi di luar postcrossing
yang saya yakin masih banyak yang berkirim kartu pos.
Dan dewasa ini, fungsi korespondensi kartu pos tak lagi hanya
untuk berkirim kabar. Jamak ditemukan kartu pos untuk ajang promosi pariwisata.
Namun tak terbatas itu, kartu pos bisa menjadi media penyaluran bakat di bidang
seni rupa dengan sentuhan sangat personal. Seperti yang dilakukan oleh artis
dari Semarang, Aris Yaitu, Irfan Fatchu Rachman, dan Rana Wijaya Soemadi yang mengadakan
pameran kartu pos bertema "September". Melalui goresan pena gambar dalam
media kartu pos mereka mengejewantahkan hasil cipta, rasa, dan karsa mereka. Cerita-cerita
individu mereka yang terjadi pada September yang tertuang dalam pameran kartu
pos itu menambah khazanah dalam dunia kartu pos di Indonesia.
|
"Bertukar kartu"
Aris yaitu |
|
Kartu Pos dan Sensasi Berkomunikasi
[Tulisan untuk katalog pameran]
Oleh Rizki Ramadan
Berbicara tentang kartu pos bikin saya selalu ingat sama salah
satu cerita pendek, Kartu Pos dari Surga karangan Agus Noor.
Cerpen itu bercerita tentang anak kecil bernama Beningnya yang menunggu
kartu pos dari ibunya, Ren. Tiap kali kerja keluar kota, Ren selalu mengirimi
kartu pos. Dari hari ke hari Beningnya menanyakan terus mengapa ibunya belum
juga mengirimkan kartu pos. Sang Bapak, Marwan, tak tega untuk memberi
tahu bahwa Ren telah meninggal karena kecelakaan.
Segala cara Marwan coba agar anaknya tidak lagi menanyakan kartu
pos dari Ren. Termasuk dengan mengirimkan kartu pos bernamakan Ren. Beningnya
yang sudah hapal benar, tau kalau kartu pos itu palsu.
Sampai akhirnya, di
suatu malam, arwah Ren datang menghampiri
memberikan kartu pos secara langsung
kepada si Beningnya.
Mengapa Ren memilih kartu pos sebagai mediumnya untuk berkabar
dengan Beningnya?
Mengapa Beningnya begitu terkesan dan menunggu-nunggu kartu pos
dari Ren? Lalu, mengapa Beningnya bisa tahu mana kartu pos yang asli kiriman
ibunya mana yang bukan?
Membaca cerita itu, pasti kita setuju kalau kartu pos memang
memiliki keistimewaan khusus
dibanding medium komunikasi lainnya. Setelah setahun lebih
menggeluti hobi bertukar kartu pos kreatif dengan teman-teman anggota Card to
Post, saya pun mengetahui jawabannya.
Pertama, jika disandingkan dengan komunikasi digital yang sangat
instan, kartu pos memberikan sensasi yang menarik, yaitu keterkejutan. Rentang
waktu pengiriman yang kerap tak bisa ditebak-tebak membuat kartu pos jadi
mengejutkan. Bagi si penerima, waktu tiba dan pesan pada kartu pos selalu
mengejutkan. Bagi si pengirim, kartu pos membuatnya tegang menebak-nebak
kapankan pesannya sampai.
Dilihat dari pesannya, kartu pos itu personal. Sama seperti
surat, kartu pos juga akan membuat sang pengirim menuliskan pesannya langsung
dengan tulisan tangannya. Kita pun sama-sama
tahu kalau tulisan tangan itu otentik. Salah satu buktinya adalah, ketika kita
membeli buku, kita akan senang jika mendapatkan tanda tangan asli dari
penulisnya. Ciri, karakter, sifat dan emosi pun secara langsung tertuangkan
dalam tulisan tersebut.
Selain itu, kartu pos itu berwujud, bisa disentuh dan dirasakan.
Dan kita selalu punya perlakuan khusus terhadap benda berwujud dibandingkan
yang maya. Kita bisa memajangnya di tembok kamar, menjadikannya sebagai
pembatas buku atau menyimpannya baik-baik dalam album. Kartu pos lebih collectible dan pastinya memorable. Dalam cerpen Agus Noor pun
diceritakan kalau Beningnya mengumpulkan kartu pos dari ibunya pada sebuah
kotak. Tiap kali ia rindu ibunya, ia membuka kotak dan membaca-baca ulang kartu
posnya.
Terakhir, kartu pos itu menarik secara visual. Walau personal,
kartu pos juga memiliki sisi terbuka. Bisa jadi karena itulah kartu pos dibuat
dengan mempertimbangkan desain dan kreasi tertentu. Umumnya, kartu pos memiliki
dua sisi. Sisi untuk menuliskan alamat dan pesan, serta sisi yang memuat
gambar. Dengan begitu, berbagi pesan dan cerita pun menjadi lebih menarik dan
menyenangkan.
Nah, coba bayangkan kalau sajian visual pada kartu pos itu juga
dibuat langsung oleh pengirimnya. Dengan sketsa, karya luksinya, karya
fotografi, atau crafting. Kartu pos menjadi lebih spesial, apalagi kalau karya
di kartu pos tersebut dibuat hanya satu, khusus untuk kita.
kartu pos membuat
komunikasi menjadi lebih esensial.
|
My friends (gadis malam pembukaan hahahaha) - Icha & Nana |
September dalam Kartu Pos yang Terlupakan
Oleh Triliana Ks
Bertandang ke pembukaan Pameran Kartu Pos malam itu
(30/09) di Galeri Garasi Widya Mitra Semarang, membuat saya teringat dengan
film “Chasing Liberty”. Ya, di film drama romantis yang dibintangi Mandy Moore
dan Matthew Goode itu, kartu pos menjadi perantara cerita yang menyenangkan.
Perpindahan lokasi cerita dalam film disatukan dengan kartu pos bergambar
kota-kota di Eropa yang didatangi sang puteri Presiden Amerika, Anna Foster
(Moore), dengan si agen pemerintah Inggris, Ben Calder (Goode). Kisahnya
terbalut sangat pas dengan kemunculan kartu pos-kartu pos yang manis, meski
hanya sekilas. Lalu, apa hubungan film “Chasing Liberty” dengan Pameran Kartu
Pos bertajuk September kali ini?
Hubungannya terletak pada kesamaan penggunaan media
yang sifatnya personal dan memiliki sensasi komunikasi tersendiri ini. Di dalam filmnya sendiri, rasa personalitas terberi ketika kartu pos
menampilkan gambar kota-kota khas Eropa, dengan didramatisir oleh alur cerita
cinta antara kedua pemeran utamanya. Sementara, lewat Pameran Kartu Pos, penulis bisa merasakan perasaan emosional ketiga seniman ketika menikmati
karya-karya yang tersaji. Ya, pameran yang berlangsung hingga 12 Oktober 2013 ini
diisi oleh karya seniman-seniman muda
Semarang, Aris Yaitu, Rana Wijaya Soemardi, dan Irfan Fatchu Rahman.
Lalu mengapa memilih September?
Karena bulan tersebut bisa
dibilang penuh dengan cerita, kesan, dan pesan bagi ketiga seniman. Ada banyak kejadian yang menarik terjadi di bulan ini. Satu per satu, para
seniman memilih caranya sendiri untuk memamerkan hasil karya dan
ekspresinya lewat kartu pos.
|
Postcard oleh Aris Yaitu |
Seperti yang
dilakukan oleh Aris Yaitu, saya bisa menangkap ia sengaja
memberikan kesan personalnya tentang berbagai
peristiwa yang pernah terjadi di bulan September. Di sini ia memilih menggunakan
transfer media. Karyanya cenderung klasik karena
menampilkan sosok dan event lawas tapi melegenda, sehingga meskipun kebanyakan
tersaji dalam siluet, namun tetap mudah dikenali oleh penikmatnya. Tapi, siapa
yang menyangka jika ternyata para sosok dan event tersebut memiliki bulan
sakralnya, yakni bulan September? Maka lewat karyanya ini, Aris ingin
mengingatkan betapa September penuh dengan kenangan. Seperti kenangan akan
event perdana Cannes Film Festival di Prancis, 20 September 1946. Atau kenangan
akan kematian sosok kharismatik, Mao Zedong, yang ternyata meninggal pada bulan
September, tiga puluh tujuh tahun yang lalu. Dan yang paling mengusik adalah
kenangan akan G30SPKI dan tragedi kematian Munir yang juga tersaji dalam pameran ini.
|
Postcard oleh Rana Wijayasoe |
Adapun Rana Wijaya Soemardi lebih banyak
mengekspresikan perasaannya lewat
goresan drawing pen di atas kertas. Ada kesan tentang cinta, kenangan, harapan,
dan kehilangan yang terasa begitu penulis menyelami karya-karyanya. Salah
satunya adalah karya berjudul “4 Seasons” yang menggambarkan kisah perpisahan
sepasang kekasih dengan latar belakang empat musim. Atau karya lainnya yang
berjudul “Memory”, seperti ingin menggambarkan adanya semacam kotak ingatan di dalam pikiran manusia, berisi ingatan akan masa lalu yang menyenangkan dan menyedihkan. Semua
kenangan yang tak mungkin hilang begitu saja, karena sering tersimpan rapat
seperti sewajarnya yang terjadi pada setiap manusia. Lain lagi dengan “A
Journey” yang terasa layaknya perjalanan hidup seorang Rana, hingga membentuk diri pribadinya saat ini. Mewarisi perjalanannya dari
masa kanak-kanak, remaja, hingga mencintai seseorang atau mencintai sesuatu,
seperti seni rupa. Maka semuanya terpuaskan dalam bulan September, di mana ia
menjadi pencerita sejati melalui goresan karyanya.
|
Postcard oleh Irfan Fatchu Rahman |
Sementara itu, Irfan Fatchu Rahman menyajikan karya fotografinya yang berbalut cerita
kenangan tentang tempat-tempat tertentu. Karyanya
bisadibilang cukup menghibur. Ada beberapa yang tersisipi cerita kocak,
sementara yang lainnya mengesankan kenangan manis yang hidup dalam diri Irfan.
Eloknya Taman KB Semarang, perjalanan Bandung-Jakarta yang ditemani hujan, Tugu
Pancoran Jakarta, mercusuar pelabuhan Tanjung Emas, semuanya mengetengahkan
jejak kenangan sang fotografer. Ia pun tak lupa menuliskan berbagai
pengalamannya sebagai penanda kehadirannya di dalam setiap karyanya.
Semakin
Dilupakan
Nah, bila menilik beragam karya dalam pameran kali ini, rasanya begitu
melekatkan peran kartu pos sebagai agen budaya salah satunya lewat karya seni
rupa. Di sini karya para seniman dalam kartu pos
membentuk seni rupa murni sebagai ruang kontemplasi yang menjadikan ekspresi
jiwa manusia sebagai titik beratnya. Secara visual, sangat menarik melihat karya
lukisan dan fotografi yang ditempatkan dalam media kartu pos. Tentu saja sudah
jamak diketahui bahwa kartu pos biasanya memiliki dua sisi. Sisi pertama untuk
menuliskan identitas pengirim dan penerima pesan serta isi pesan, sedangkan
sisi kedua menjadi ruang untuk meletakkan gambar atau foto yang mampu memberi
kesan tertentu kepada pembacanya. Menyatukan kedua fungsi dalam satu media
tentu memiliki nilai-nilai tersendiri yang tidak akan mudah dikesampingkan.
Pertama, kartu
pos menjadi media yang mudah digunakan untuk mencairkan ide-ide yang terpenat
dalam pikiran. Meminjam quote dari Manuel J. Borja Villel, “Above all
[Daguerre, the inventor of photography] admired the postcard as the supreme
expression of art. This was why he was attracted to the new invention.“*
Seni rupa, utamanya seni visual, memang tidak melulu harus dituangkan ke
dalam kanvas. Sang seniman harus dapat mengolah segi kreativitasnya ke dalam
berbagai bentuk media yang tidak kaku sehingga bisa diterima masyarakat yang
semakin berkembang. Banyak media dan teknik baru yang muncul dan bisa digunakan
bahkan dikembangkan. Masa inilah yang kemudian muncul istilah seni rupa
kontemporer dengan teknik dan media yang berbeda dari seni rupa tradisional.
Seperti halnya kartu pos yang menjadi inspirasi media
menyalurkan kreativitas seni. Ada segi keindahan atau estetika dalam seni rupa
yang bisa membantu fungsi kartu pos membentuk nilai pesonalnya. Karenanya, seniman dituntut untuk bisa menciptakan karya seninya yang mampu menonjolkan
keindahan dan ketepatan penempatan pada media kartu pos. Dengan demikian,
visualisasinya yang indah akan sangat pas bila membayangkan nantinya kartu pos
diisi dengan pesan tertentu oleh sang pengirim pesan.
|
Aris, Rana, Irfan
|
Kedua, saya ingin sekaligus mengingatkan betapa kartu pos pada masanya benar-benar
digemari. Ketika itu, kartu pos bisa dibilang merupakan penemuan hebat di
bidang komunikasi tulisan setelah dimulainya layanan pos. Tahun 1840 muncul
kartu pos yang diklaim sebagai yang pertama mencantumkan gambar di dalamnya. Penggunaan
gambar pada satu sisinya menjadikan nilai penting dalam berkomunikasi via kartu
pos. Ia bisa mewakili perasaan pengirim pesan, terutama bila berurusan dengan
pesan-pesan romantis. Selain itu, ia juga bisa menjadi kenang-kenangan yang manis dari suatu lokasi yang pernah
dikunjungi. Namun di samping sisi
estetikanya, kegemaran terhadap kartu pos juga dikarenakan murahnya biaya yang
harus dihabiskan
dibandingkan dengan menggunakan surat dengan amplop dan prangko. Mengirimkan
kartu pos memang tidak serumit berkirim surat, karena cukup menggunakan prangko
dan menuliskan sebait pesan kepada yang tertuju.
|
The displayer - Aris yaitu |
Sayangnya, penggunaan kartu pos
sebagai ajang bertukar informasi saat ini semakin
dilupakan oleh karena perubahan zaman yang semakin pesat. Mungkin bahkan
anak-anak masa kini tidak mengetahui apa itu kartu pos. Ya, bisa dibilang kartu
pos saat ini sudah tergantikan dengan keberadaan teknologi kekinian seperti
gadget dan internet. Kedua teknologi ini lebih sering dipilih untuk saling
mengirimkan pesan, bahkan pesan cinta yang sifatnya personal sekalipun.
Kecepatan akses informasi menjadi faktor utama penggunaan teknologi baru ini.
Kita tidak perlu menunggu lama ketika mengirim dan menunggu balasan akan pesan
yang telah terkirim. Cukup sekali “klik”, maka segala urusan akan beres. Di
sini tidak lagi ada sensasi menunggu balasan, atau sensasi personal lainnya
seperti yang biasa terjadi ketika berkirim kartu pos. Pesan yang tersampaikan
pun bersifat maya karena tidak lagi bisa disentuh secara fisik. Lalu tidak ada
kenikmatan mengirim dan menerima pesan layaknya perasaan menebak-nebak dengan
berkirim kartu pos. Satu hal lagi yang hilang, budaya menulis pesan sendiri
atau orisinal pun luntur, karena dengan peran “klik” kita biasanya cenderung
dengan mudah melakukan copy-paste.
Mungkin sederet hal di atas menjadi alasan pelaksanaan
Pameran Kartu Pos kali ini. Para seniman menggugah ingatan para penikmat seni,
khususnya, dan masyarakat pada umumnya, tentang nikmatnya berkirim kartu pos.
Merasakan sensasi berkomunikasi yang syahdu dengan kartu pos, sekaligus
menikmati visualisasi kecerdasan seni rupa yang tersaji. Jadi sama halnya
dengan scene-scene dalam “Chasing Liberty”, kartu pos bisa menjadi
perantara saat ingin mendapati perasaan yang personal dan emosional tentang
sesuatu, atau bahkan seseorang.
* In Piece: An Anthology of
fragmentary Writing", hal 379. Editor: Olivia Dresher. penerbit: Impassio
Press. tahun 2006
Saya masih suka berkirim kartu pos, jadi jangan sungkan untuk mengirimi saya kartu,
pasti ku balas...
Salam korespondensi!