Translate

Selasa, 29 Maret 2011

keberAGAMAan

Aris Yaitu

“Tiga Nabi dan Setan”

—acrylic on paper—
[Tiga nabi yang saya maksud ialah Isa, Musa, dan Muhammad. Mereka mewakili agama yang berbeda. Dan saya percaya mereka tidak mengajarkan kekerasan atas nama agama masing-masing. “Setan”lah yang membisiki para dombanya.]


“Tiga Nabi dan Setan”
PARA nabi adalah manusia-manusia konkret, sama dengan manusia-manusia lainnya. Dalam kelebihan dan kekurangan, kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan mereka adalah saudara-saudara kita. “Anak Manusia” adalah salah seorang dari umat manusia. Barangkali yang membedakan para nabi, termasuk Tiga Nabi, dengan kita, adalah bahwa mereka telah lebih dulu, dalam konteks mereka masing-masing, menaruh diri mereka pada horizon atau cakrawala transcendental dengan cara yang sedemikian rupa yang mengukuhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia. Mereka mengalami bahwa Yang Transenden mengafirmasi kemanusiaan mereka serta mengeramatkan kehidupan. Kemudian mereka merasa terpanggil untuk mengajak manusia-manusia yang lain untuk tiba pada pemaknaan tersebut.
Tapi agaknya lebih mudah untuk memuja nabi, dengan cara apapun, daripada menyambut ajakan mereka dan menempuh petualangan mendebarkan yang mengukuhkan kemanusiaan dan kehidupan. Barangkali ini kena-mengena dengan kondisi keterasingan manusia dari dirinya sendiri, yang membuat manusia memandang Tiga Nabi sebagai wujud-wujud kesempurnaan alih-alih sebagai penyambung-penyambung lidah dari cita-cita kemanusiaan itu sendiri. Manusia menolak tugas-kehidupan karena menganggap hanya Tiga Nabi-lah yang sanggup dan yang telah menyelesaikannya. Alih-alih, tugas manusia adalah memuja para nabi, dengan pelbagai cara.
Jiwa-semangat Tiga Nabi pupus, yang tertinggal adalah keterasingan manusia yang kini dikemas dengan bungkusan-bungkusan sosio-kultural kehidupan para nabi serta pemitosan yang didogmakan terhadap sosok-sosok mereka. Ketika manusia atau umat mengidentifikasikan diri mereka dengan “bungkusan-bungkusan” dan “pemitosan yang didogmakan” ini, “Setan” alias kuasa-perusak-kehidupan beroleh kesempatan untuk membenamkan manusia ke dalam lumpur alienasi. Yang lain dari dari “kami” adalah seteru Nabi: baik itu agama yang lain, tafsir yang lain, umat yang lain, dan sebagainya. Kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan tercampak. Demikian juga kehidupan, yang seharusnya diteguhkan dan diperkaya lewat para pengikut Tiga Nabi. Agama-agama pun, melalui kiprah para pengikut Tiga Nabi, menampakkan wajah demonis     

*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.


“Manusia Tanpa Identitas”
—acrylic on paper—
[Manusia begitu mudah melakukan kekerasan, bahkan pembunuhan, demi pemaksaan identitas tunggal. Bagaimana jika manusia tidak memiliki identitas?]


“Manusia Tanpa Identitas”
MUNGKINKAH manusia tanpa identitas? Ketika kita menyebut “manusia”, kita tidak melakukannya tanpa mengandaikan “identitas.” Manusia adalah sebuah identitas. Identitas ini bukan hasil abstraksi yang dengannya kita tiba pada “inilah idea tentang manusia” yang dengannya kita mendefinisikan manusia. Ketika kita menggunakan kata-ganti “aku”, “engkau”, “ia” (s/he), “kami”, “kita”, “kamu”, dan “mereka”, secara intuitif kita mengakui kesesamaan manusia, kekhasan manusia-manusia konkret, dan ketersapaan manusia. Aku ada karena dan tidak pernah tanpa engkau, ia, kami, kita, kamu, dan mereka. Demikianlah kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan mendefinisikan manusia; ketiganya mengukuhkan manusia sebagai sebuah identitas. Pada dirinya sendiri manusia adalah sebuah identitas.
Agama-agama dilahirkan di dalam atau datang ke dalam konteks kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia. Dengan kata lain, agama-agama ada dalam konteks manusia. Melalui agama-agama, manusia memaknai identitasnya dengan rujukan transcendental. Manusia menaruh kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaannya pada horizon transendensi yang disediakan agama-agama. Dengan begitu manusia menjadi manusia-yang-terhubung-dan-dimaknai-dengan-yang-transenden. Sejauh ini meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia, betapapun agama-agama dipandang sebagai ilusi dan proyeksi kesadaran dialektis manusia tentang keterbatasan dan ketidakterbatasan, agama-agama berkontribusi positif dalam artian memperkaya manusia.
Tapi ketika mereduksi kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia dengan memasukkan manusia ke dalam pemaknaan transcendental yang monolitik seturut dengan idea-idea religius tertentu, agama-agama berkontribusi negatif. Bukannya mengukuhkan identitas manusia, agama-agama malah menggangsirnya sembari berpretensi memberikan identitas baru kepada manusia; identitas yang membuat manusia teralienasi, terasing, dari dirinya dan sesamanya.
Tugas agama-agama bukanlah memberikan identitas kepada manusia. Identitas itu sudah ada. Manusia itu sendiri adalah sebuah identitas. Tugas agama-agama, seperti halnya seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, dan sebagainya, adalah meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia.

*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.



“Atas Nama Identitas #1”“Atas Nama Identitas #2”
—digital print on paper—
[Dua karya neon-box ini terinspirasi dari diskusi dengan pendeta Rony C. Kristanto, yaitu manusia dilahirkan tidak untuk menjadi Islam, Kristen, Hindu atau lainnya, melainkan menjadi manusia belaka. Latar belakanglah yang membentuk manusia menjadi Islam, Kristen, Hindu dan sebagainya hingga akhirnya mereka lupa bahwa dirinya adalah manusia.]


 “Atas Nama Identitas #1” dan “Atas Nama Identitas #2”
MANUSIA dilahirkan tidak untuk menjadi penganut agama tertentu. Ia dilahirkan sebagai manusia. Ia dilahirkan untuk menghidupi kemanusiaannya. Ia, yang beridentitas kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan terlahir untuk menghidupi kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaannya. Ia adalah “aku” karena ada ia yang menjadi “engkau”, yang pada dirinya adalah “aku” karena yang lain menjadi “engkau”. Dengan atau tanpa menjadi penganut agama, tugas-kehidupan ini adalah hakiki. Fungsi agama, dengan pesona transendensinya, adalah memperlengkapi “aku” sedemikian rupa sehingga kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaanku menjadi sumbangsih yang meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan “kami/kita”, “engkau”, “kamu”, “ia”, dan “mereka.”
Agama bukanlah identitas manusia. Identitas itu sudah ada di sana, inheren pada diri manusia. Agama “hanya”-lah salah satu dari sekian banyak hal yang dapat memperkuat kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia. “Politik identitas”, bila istilah ini boleh digunakan, hendaknya dimaknai sebagai upaya meneguhkukuhkan kemanusiaan manusia, bukan memenangkan hal-hal lain yang sebenarnya berfungsi melayani kemanusiaan. Demikian pula, loyalitas kepada yang transenden, yang secara naluriah tersamarkan dengan loyalitas kepada agama, sejatinya harus merupakan loyalitas kepada kemanusiaan manusia. Loyalitas kepada yang transenden atau loyalitas kepada agama tidak bisa berdiri sendiri lepas dari loyalitas kepada kemanusiaan, selain menjadi perintang bahkan pembinasa kemanusiaan.
“Atas nama identitas” bila itu merupakan komitmen atau loyalitas kepada kemanusiaan, layak dilakoni berapapun mahal harganya. “Atas nama identitas” bila itu merupakan komitmen atau loyalitas kepada yang transenden atau loyalitas kepada agama lepas dari loyalitas kepada manusiaan adalah bahaya bagi manusia dan kemanusiaannya. “Atas nama identitas” macam ini, betapapun heroiknya, tidak layak masuk dalam agenda kemanusiaan. Bila “aku” seorang Kristen, biarlah Kekristenanku menolongku untuk bersumbangsih positif bagi kemanusiaan “engkau” yang seorang Muslim, Buddhis, atau Hindu. Demikian pula bila “aku” seorang Muslim, biarlah Keislamanku membantuku untuk meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan “engkau”, “kamu”, “ia”, dan “mereka” yang berbeda denganku. Dalam arti inilah “atas nama identitas” adalah sebuah humanisme.

*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.



Tuan mat seribu #2


Mata, Mata


Tuan mata seribu #1

“Tuan Mata Seribu #1”“Tuan Mata Seribu #2”“Mata, Mata”
—mix media on paper—
[Tiga karya ini respons atas kekerasan terhadap agama yang baru-baru ini terjadi. Dalam pandangan saya, ada “tokoh” yang sengaja membuat kasus-kasus ini. Hanya orang-orang tertentu dan khusus yang mampu merekayasa kejadian itu.]


“Tuan Mata Seribu #1”, “Mata, Mata”, dan “Tuan Mata Seribu #2”
MENEGUHKAN kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia, tugas agama-agama adalah mempertajam mata hati manusia. Dengan agama yang dianutnya, hendaknya manusia jadi kian cakap untuk melakukan discernment: Kebaikan, kebenaran, dan keadilan vis-à-vis kejahatan, kesesatan, dan kezaliman; atau segala yang mengafirmasi kehidupan vis-à-vis segala yang mencederai kehidupan. Tapi bagaimana bila justru dengan dan karena agamanya manusia menjadi mabuk dengan self-claim, sibuk mengklaim agamanya sendiri sebagai yang paling benar, menolak kemajemukan agama dan tafsir-agama, serta bergerak mengintimidasi bahkan berusaha menyingkirkan sesama yang menganut agama dan tafsir-agama yang berbeda? Bila dengan dan karena agamanya manusia mencederai kehidupan alih-alih merawat dan memperkayanya, nampaknya telah gagallah tugas suci agama dalam mempertajam mata hati manusia.
Pesona agama adalah pesona transendensi. Yang transenden itu mempesona karena menawarkan ultimate meaning bagi keberadaan manusia bahkan semesta. Manusia, yang dalam kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaannya merasa gamang dengan kefanaan yang mengancam makna-keberadaannya, menyambut tawaran dari yang transenden. Karena “merasa cocok” dengan suatu format-agamawi, manusia memeluk suatu agama untuk meraih ultimate meaning. Dengan jalan itu manusia merasa telah berhasil mengatasi kegamangannya.
Pesona transendensi, itulah sebabnya agama begitu mempesona. Pesona itu begitu kuat, sampai-sampai manusia rela berkurban segalanya, bahkan dirinya sendiri, dan bila perlu orang lain. Pesona itu seakan berada di luar penilaian etis-moral; yang ontologis lebih besar daripada yang etis. Di sini agama dengan pesona transendensinya menjadi sebuah paradoks: memberikan ultimate meaning bagi keberadaan manusia sekaligus menafikan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia. Yang ilahi bisa pada saat yang sama berwajah demonis. Tumpullah mata-hati yang seharusnya dipertajam agama.
Dalam sejarah, paradoks agama dengan pesona transendensinya sangat rentan untuk dimanipulasi oleh “kaum bermata seribu” – para penguasa atau kaum yang haus kuasa. Mereka bermata seribu, tahu-segala dan mengontrol-segala. Tapi mereka buta mata-hati, dan dengan leluasa menggunakan agama-agama untuk membutakan mata-hati umat.
Agama-agama bisa digunakan untuk melegitimasi kekuasaan – bahkan yang paling korup dan represif sekalipun. Agama-agama bisa digunakan untuk membangkitkan kebutuhan masyarakat atas negara yang kuat, yang terpisah dari masyarakat dan berdiri mengatasi masyarakat: yakni dengan membuat agama-agama itu menggerakkan umat-umat untuk saling berhadapan dan melakukan pencederaan terhadap kehidupan, dan negara datang sebagai penyelamat kehidupan. Hari-hari ini negeri kita semakin ternoda-darah oleh agama yang termanipulasi. Yang-mempesona pun tak ayal menjadi monster keji nan haus darah.


*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.

2 komentar:

  1. terima kasih..karyanya mengandung pemaknaan yang mendalam dan menginspirasi saya.

    BalasHapus
  2. sama-sama, trimakasih apresiasinya.

    BalasHapus