Translate

Minggu, 07 Oktober 2012

Gerak Gambar (final version)


Artwork : Aris Yaitu 2012

Gerak Gambar
Donny Danardono*]

Seni rupa, dalam hal ini seni lukis kontemporer, tak bergerak di kelurusan hubungan isi dan bentuk karya. Ia bahkan tak membedakan keduanya. Sebab ia bisa berupa goresan horisontal, vertikal, diagonal atau melingkar tanpa rencana saat menggambarkan gerak jiwa senimannya. Setelahnya si seniman baru tahu apa yang ia sampaikan, walau tak sepenuhnya.
Seni rupa kontemporer juga bisa merupakan simbolisasi seniman atas sebuah persoalan. Baik goresan tanpa rencana maupun simbolisasi itu akan meluweskan seniman dalam memilih media sebagai “wadah” idenya itu.
Sebenarnya istilah “wadah” ini tak tepat, sebab setiap karya adalah sintesa dari dialektika antara isi dan wadah-(bentuk)-nya. Sebuah dialektika yang―seperti ditulis oleh W.J.T. Mitchell dalam “Showing Seeing: a Critique of Visual Culture”―tak usai saat karya itu selesai dan dipamerkan, tapi juga saat pemirsa menatapnya. Sebuah dialektika yang menggoda dan memperbarui kehidupan seniman dan pemirsanya.
Kiranya berbagai gambar karya Agung Yuliansah dan Aris Yaitu―yang dipamerkan di Galeri Garasi Widya Mitra, sebuah lembaga Indonesia-Belanda di Semarang, pada 24 September-13 Oktober 2012―yang bertema “Trauma di Kelokan” ini memenuhi konsep itu. Samuel Sugiarto, alumnus ISI Yogyakarta, meningkahi pembukaan pameran itu dengan memainkan gitar, biola dan block flute.

Kegelapan dan Harapan
Kali ini Aris Yaitu (23)―yang nama dan karyanya mulai akrab di publik Semarang dan Yogyakarta―memajang karya-karya yang secara teknis lebih matang dari sebelumnya. Aris mengaku kerap tak tahu apa yang ia gambar dan bagaimana jadinya gambar itu. Ia menggambar saat terdorong untuk memvisualkan pengalamannya yang menggembirakan atau menyedihkan. Ia lega saat mengoreskan alat gambarnya dan saat karyanya rampung. “Saat menggambar saya menemukan kebebasan yang sesungguhnya”, ujarnya.
Jadi, baginya, menggambar kerap merupakan gerak dalam gelap untuk mewujudkan ide yang juga gelap. Tak satu pun konsep filosofis membimbingnya. Menggambar jadi mirip melahirkan, yaitu tanpa mengetahui wujud yang mau dilahirkan itu. Tapi gerak dalam gelap itu justru mengasyikkan dan membebaskannya.
Maka, sebagai juru gambar, subyektivitas Aris―mengutip Alain Badiou dalam Theory of the Subject―senantiasa tertunda. Subyektivitas itu jelas sejenak saat ia menyelesaikan gambarnya. Tapi, segera setelahnya, diperbarui lagi saat ia menggambar lagi dalam gerak yang gelap untuk mewujudkan ide yang juga gelap.
Kegelapan itu mewujud dalam berbagai gambar yang merupakan simbolisasi kekerasan. Lihat karyanya yang berjudul Luka, Trauma, Isi Ulang, Pertarungan Sang Tuan, You Are Next dan War. Simbolisasi itu juga mewujud dalam mata yang ada di mana-mana untuk mengawasi dan mendisiplinkan perilaku.
Simbolisasi ini menunjukkan, bahwa meskipun Aris tak menyukai kekerasan, tapi sering kali ia tak mampu menghindari dan mengungkapkannya. Kita pun sering begitu. Ini adalah sebuah situasi yang traumatis. Trauma menempatkan seseorang dalam kegelapan yang menyulitkannya membedakan yang baik dari yang buruk dan yang benar dari yang salah.
Karena itu karya-karyanya adalah ungkapan situasi, bukan ungkapan ide atau konsep yang jelas. Namun toh Aris juga menggambar Bertukar Pikir dan Harapan.

Simulakra Kehadiran
Lain Aris Yaitu, lain Agung Yuliansah (43). Agung memberi judul karyanya “Yang Hadir dalam Belokan”. Ia mengaku mendapat inspirasi dari konsep simulakra Jean Baudrillard, filsuf postmodern Prancis itu. Dalam dunia simulakra manusia tak bisa lagi menemukan yang otentik. Semua adalah tiruan atas tiruan. Maka kenyataan adalah kehadiran berdasarkan ungkapan tertentu. Semua adalah realitas yang berlebih (hiperrealitas).
Berita TV dan koran, walau telah lewat double-checking, tak akan bisa menyampaikan peristiwa secara obyektif. Bukan hanya karena berita itu harus dikemas dalam ungkapan yang patut, tapi terutama karena harus disampaikan dalam bahasa yang terbatas. Bagaimana ungkapan “mati kunduran truk” bisa diindonesiakan tanpa menimbulkan imaji yang lain dari imaji mereka yang berbahasa Jawa?
Agung menggambar garis vertikal, horisontal, diagonal dan titik-titik yang kerap tak mewujud sebagai apa pun. Kadang juga berupa kertas yang dilubangi. Ia juga menggambar wujud tertentu: manusia bersayap yang mirip malaikat, jantung, burung atau tanda hitung plus dan minus. Ia namai semua itu simulakra.
Tapi, berkesenian berdasarkan konsep filosofis atau non-filosofis tertentu adalah berkarya dalam kesadaran. Maka, goresan Agung tak segelap goresan Aris. Goresan itu dibimbing oleh sebuah ide yang―mengutip René Descartes―clara et distincte: jelas dan terpilah. Konsekuensinya, saat menggambar Agung menjadi seorang komentator atau pengkritik yang beridentitas utuh. Karya seninya tak beda dari ilmu sosial, yaitu menjadi kritik atau cermin bagi kenyataan sosial tertentu. Karya seni tak lagi menampilkan situasi yang dirasakan.
Gerak Gambar
Sesungguhnya konsep simulakra adalah ungkapan tentang realitas baru, realitas rekaan, realitas yang selama ini tak kita ketahui. Simulakra menyadarkan kita tentang ketidak-otentikan subyektivitas dan segala karya kita. Ia menganjurkan perlunya manipulasi-kreatif-positif, bukan yang menistakan.
Karena itu karya seni tak mungkin merepresentasikan kesadaran utuh senimannya. Para pemirsanya masih mesti menafsir berdasarkan pengalaman pribadi masing-masing. Maka, saya kira, konsep simulakra ini mendorong seniman dan penikmat untuk memahami tak mungkinnya membuat seni adi-luhung (fine art). Berkesenian adalah mengungkap pengalaman emosional. Ia berbeda dari menulis dan bertutur tentang konsep-konsep ilmu sosial. Estetika adalah daya sentuh emosional sebuah karya. Sebuah karya akan berhasil bila bisa membangkitkan keharuan, kejengkelan, kemarahan atau kegelian penikmat.
Maka, sesungguhnya karya Aris tak sepenuhnya berangkat dari kegelapan. Pilihan format kertas A4 atau yang lebih kecil, disadari atau tidak, adalah strategi yang jitu untuk menarik penikmat kelas menengah Semarang yang lebih akrab dengan mal dan café daripada galeri seni rupa. Format kertas itu membuat karya-karya Aris dan beberapa karya Agung seakan tebaran kartu-pos besar yang populer, bukan karya seni adi-luhung, tapi dengan daya estetis yang bisa membarui kehidupan penikmatnya.
Dalam suasana seperti itulah sebuah gambar bergerak. Gerakan yang membentuk ulang subyektivitas seniman dan penikmatnya.



*] Donny Danardono adalah pengajar Filsafat di FH dan PMLP Unika Soegijapranata.

[CATATAN: Esai dimuat di harian Suara Merdeka Minggu: 7  Oktober 2012.]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar