Translate
Selasa, 12 April 2011
Senin, 04 April 2011
Minggu, 03 April 2011
Selasa, 29 Maret 2011
keberAGAMAan
Aris Yaitu
“Tiga Nabi dan Setan”
—acrylic on paper—
[Tiga nabi yang saya maksud ialah Isa, Musa, dan Muhammad. Mereka mewakili agama yang berbeda. Dan saya percaya mereka tidak mengajarkan kekerasan atas nama agama masing-masing. “Setan”lah yang membisiki para dombanya.]
“Tiga Nabi dan Setan”

Tapi agaknya lebih mudah untuk memuja nabi, dengan cara apapun, daripada menyambut ajakan mereka dan menempuh petualangan mendebarkan yang mengukuhkan kemanusiaan dan kehidupan. Barangkali ini kena-mengena dengan kondisi keterasingan manusia dari dirinya sendiri, yang membuat manusia memandang Tiga Nabi sebagai wujud-wujud kesempurnaan alih-alih sebagai penyambung-penyambung lidah dari cita-cita kemanusiaan itu sendiri. Manusia menolak tugas-kehidupan karena menganggap hanya Tiga Nabi-lah yang sanggup dan yang telah menyelesaikannya. Alih-alih, tugas manusia adalah memuja para nabi, dengan pelbagai cara.
Jiwa-semangat Tiga Nabi pupus, yang tertinggal adalah keterasingan manusia yang kini dikemas dengan bungkusan-bungkusan sosio-kultural kehidupan para nabi serta pemitosan yang didogmakan terhadap sosok-sosok mereka. Ketika manusia atau umat mengidentifikasikan diri mereka dengan “bungkusan-bungkusan” dan “pemitosan yang didogmakan” ini, “Setan” alias kuasa-perusak-kehidupan beroleh kesempatan untuk membenamkan manusia ke dalam lumpur alienasi. Yang lain dari dari “kami” adalah seteru Nabi: baik itu agama yang lain, tafsir yang lain, umat yang lain, dan sebagainya. Kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan tercampak. Demikian juga kehidupan, yang seharusnya diteguhkan dan diperkaya lewat para pengikut Tiga Nabi. Agama-agama pun, melalui kiprah para pengikut Tiga Nabi, menampakkan wajah demonis
*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.
“Manusia Tanpa Identitas”
—acrylic on paper—
[Manusia begitu mudah melakukan kekerasan, bahkan pembunuhan, demi pemaksaan identitas tunggal. Bagaimana jika manusia tidak memiliki identitas?]
“Manusia Tanpa Identitas”
MUNGKINKAH manusia tanpa identitas? Ketika kita menyebut “manusia”, kita tidak melakukannya tanpa mengandaikan “identitas.” Manusia adalah sebuah identitas. Identitas ini bukan hasil abstraksi yang dengannya kita tiba pada “inilah idea tentang manusia” yang dengannya kita mendefinisikan manusia. Ketika kita menggunakan kata-ganti “aku”, “engkau”, “ia” (s/he), “kami”, “kita”, “kamu”, dan “mereka”, secara intuitif kita mengakui kesesamaan manusia, kekhasan manusia-manusia konkret, dan ketersapaan manusia. Aku ada karena dan tidak pernah tanpa engkau, ia, kami, kita, kamu, dan mereka. Demikianlah kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan mendefinisikan manusia; ketiganya mengukuhkan manusia sebagai sebuah identitas. Pada dirinya sendiri manusia adalah sebuah identitas.
Agama-agama dilahirkan di dalam atau datang ke dalam konteks kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia. Dengan kata lain, agama-agama ada dalam konteks manusia. Melalui agama-agama, manusia memaknai identitasnya dengan rujukan transcendental. Manusia menaruh kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaannya pada horizon transendensi yang disediakan agama-agama. Dengan begitu manusia menjadi manusia-yang-terhubung-dan-dimaknai-dengan-yang-transenden. Sejauh ini meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia, betapapun agama-agama dipandang sebagai ilusi dan proyeksi kesadaran dialektis manusia tentang keterbatasan dan ketidakterbatasan, agama-agama berkontribusi positif dalam artian memperkaya manusia.
Tapi ketika mereduksi kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia dengan memasukkan manusia ke dalam pemaknaan transcendental yang monolitik seturut dengan idea-idea religius tertentu, agama-agama berkontribusi negatif. Bukannya mengukuhkan identitas manusia, agama-agama malah menggangsirnya sembari berpretensi memberikan identitas baru kepada manusia; identitas yang membuat manusia teralienasi, terasing, dari dirinya dan sesamanya.
Tugas agama-agama bukanlah memberikan identitas kepada manusia. Identitas itu sudah ada. Manusia itu sendiri adalah sebuah identitas. Tugas agama-agama, seperti halnya seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, dan sebagainya, adalah meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia.
*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.
“Atas Nama Identitas #1” — “Atas Nama Identitas #2”
—digital print on paper—
[Dua karya neon-box ini terinspirasi dari diskusi dengan pendeta Rony C. Kristanto, yaitu manusia dilahirkan tidak untuk menjadi Islam, Kristen, Hindu atau lainnya, melainkan menjadi manusia belaka. Latar belakanglah yang membentuk manusia menjadi Islam, Kristen, Hindu dan sebagainya hingga akhirnya mereka lupa bahwa dirinya adalah manusia.]
“Atas Nama Identitas #1” dan “Atas Nama Identitas #2”
MANUSIA dilahirkan tidak untuk menjadi penganut agama tertentu. Ia dilahirkan sebagai manusia. Ia dilahirkan untuk menghidupi kemanusiaannya. Ia, yang beridentitas kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan terlahir untuk menghidupi kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaannya. Ia adalah “aku” karena ada ia yang menjadi “engkau”, yang pada dirinya adalah “aku” karena yang lain menjadi “engkau”. Dengan atau tanpa menjadi penganut agama, tugas-kehidupan ini adalah hakiki. Fungsi agama, dengan pesona transendensinya, adalah memperlengkapi “aku” sedemikian rupa sehingga kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaanku menjadi sumbangsih yang meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan “kami/kita”, “engkau”, “kamu”, “ia”, dan “mereka.”
Agama bukanlah identitas manusia. Identitas itu sudah ada di sana, inheren pada diri manusia. Agama “hanya”-lah salah satu dari sekian banyak hal yang dapat memperkuat kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia. “Politik identitas”, bila istilah ini boleh digunakan, hendaknya dimaknai sebagai upaya meneguhkukuhkan kemanusiaan manusia, bukan memenangkan hal-hal lain yang sebenarnya berfungsi melayani kemanusiaan. Demikian pula, loyalitas kepada yang transenden, yang secara naluriah tersamarkan dengan loyalitas kepada agama, sejatinya harus merupakan loyalitas kepada kemanusiaan manusia. Loyalitas kepada yang transenden atau loyalitas kepada agama tidak bisa berdiri sendiri lepas dari loyalitas kepada kemanusiaan, selain menjadi perintang bahkan pembinasa kemanusiaan.
“Atas nama identitas” bila itu merupakan komitmen atau loyalitas kepada kemanusiaan, layak dilakoni berapapun mahal harganya. “Atas nama identitas” bila itu merupakan komitmen atau loyalitas kepada yang transenden atau loyalitas kepada agama lepas dari loyalitas kepada manusiaan adalah bahaya bagi manusia dan kemanusiaannya. “Atas nama identitas” macam ini, betapapun heroiknya, tidak layak masuk dalam agenda kemanusiaan. Bila “aku” seorang Kristen, biarlah Kekristenanku menolongku untuk bersumbangsih positif bagi kemanusiaan “engkau” yang seorang Muslim, Buddhis, atau Hindu. Demikian pula bila “aku” seorang Muslim, biarlah Keislamanku membantuku untuk meneguhkan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan “engkau”, “kamu”, “ia”, dan “mereka” yang berbeda denganku. Dalam arti inilah “atas nama identitas” adalah sebuah humanisme.
*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.
Tuan mat seribu #2
Mata, Mata
Tuan mata seribu #1
“Tuan Mata Seribu #1” — “Tuan Mata Seribu #2” — “Mata, Mata”
—mix media on paper—
[Tiga karya ini respons atas kekerasan terhadap agama yang baru-baru ini terjadi. Dalam pandangan saya, ada “tokoh” yang sengaja membuat kasus-kasus ini. Hanya orang-orang tertentu dan khusus yang mampu merekayasa kejadian itu.]
“Tuan Mata Seribu #1”, “Mata, Mata”, dan “Tuan Mata Seribu #2”
MENEGUHKAN kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia, tugas agama-agama adalah mempertajam mata hati manusia. Dengan agama yang dianutnya, hendaknya manusia jadi kian cakap untuk melakukan discernment: Kebaikan, kebenaran, dan keadilan vis-Ã -vis kejahatan, kesesatan, dan kezaliman; atau segala yang mengafirmasi kehidupan vis-Ã -vis segala yang mencederai kehidupan. Tapi bagaimana bila justru dengan dan karena agamanya manusia menjadi mabuk dengan self-claim, sibuk mengklaim agamanya sendiri sebagai yang paling benar, menolak kemajemukan agama dan tafsir-agama, serta bergerak mengintimidasi bahkan berusaha menyingkirkan sesama yang menganut agama dan tafsir-agama yang berbeda? Bila dengan dan karena agamanya manusia mencederai kehidupan alih-alih merawat dan memperkayanya, nampaknya telah gagallah tugas suci agama dalam mempertajam mata hati manusia.
Pesona agama adalah pesona transendensi. Yang transenden itu mempesona karena menawarkan ultimate meaning bagi keberadaan manusia bahkan semesta. Manusia, yang dalam kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaannya merasa gamang dengan kefanaan yang mengancam makna-keberadaannya, menyambut tawaran dari yang transenden. Karena “merasa cocok” dengan suatu format-agamawi, manusia memeluk suatu agama untuk meraih ultimate meaning. Dengan jalan itu manusia merasa telah berhasil mengatasi kegamangannya.
Pesona transendensi, itulah sebabnya agama begitu mempesona. Pesona itu begitu kuat, sampai-sampai manusia rela berkurban segalanya, bahkan dirinya sendiri, dan bila perlu orang lain. Pesona itu seakan berada di luar penilaian etis-moral; yang ontologis lebih besar daripada yang etis. Di sini agama dengan pesona transendensinya menjadi sebuah paradoks: memberikan ultimate meaning bagi keberadaan manusia sekaligus menafikan kesesamaan, kekhasan, dan ketersapaan manusia. Yang ilahi bisa pada saat yang sama berwajah demonis. Tumpullah mata-hati yang seharusnya dipertajam agama.
Dalam sejarah, paradoks agama dengan pesona transendensinya sangat rentan untuk dimanipulasi oleh “kaum bermata seribu” – para penguasa atau kaum yang haus kuasa. Mereka bermata seribu, tahu-segala dan mengontrol-segala. Tapi mereka buta mata-hati, dan dengan leluasa menggunakan agama-agama untuk membutakan mata-hati umat.
Agama-agama bisa digunakan untuk melegitimasi kekuasaan – bahkan yang paling korup dan represif sekalipun. Agama-agama bisa digunakan untuk membangkitkan kebutuhan masyarakat atas negara yang kuat, yang terpisah dari masyarakat dan berdiri mengatasi masyarakat: yakni dengan membuat agama-agama itu menggerakkan umat-umat untuk saling berhadapan dan melakukan pencederaan terhadap kehidupan, dan negara datang sebagai penyelamat kehidupan. Hari-hari ini negeri kita semakin ternoda-darah oleh agama yang termanipulasi. Yang-mempesona pun tak ayal menjadi monster keji nan haus darah.
*Teks refleksi ditulis oleh Rudolfus Antonius (pengajar di STT Abdiel, Ungaran) untuk Pameran Seni Rupa “keberAGAMAn” karya Agung Yuliansyah, Aris Yaitu, Nasay Saputra dan Tommas Titus Kurniawan di Wisma Driyarkara, Jl. Dr Cipto 238, Semarang pada 27 Maret—6 April 2011.
Senin, 28 Maret 2011
Poster keberAGAMAn
Agama, Simbol, Sunyi
Donny Danardono*]
Beanstalk menampilkan foto pop-art, lukisan dan instalasi untuk mendorong orang kembali ke simbol-simbol toleransi beragama yang populer di Indonesia. Tapi, ini yang menarik, bukankah dengan demikian, pada dirinya sendiri, agama tidak selalu merupakan simbol sekaligus jalan ke yang-suci dan perdamaian?
Tapi manusia tak sabar, tak bisa membiarkan yang-maha-lain, yang-tak-terpadankan, yang-tak-terbahasakan, atau yang-suci itu dalam sunyi. Manusia berusaha membahasakannya, memberinya sosok dan meringkusnya dengan membangunkan doktrin-doktrinnya, tempat-tempat ibadah yang megah, dan merayakan hari-harinya.
Manusia telah dan terus menstrukturkan yang-suci atau sunyi itu. Padahal struktur adalah arsitektur kuasa atau siasat. Strukur tak hanya menyederhanakan yang-suci dan sunyi dalam sebuah konsep, tapi juga menandai dan membedakan bermacam bentuknya. Itulah asal dan dasar segala kekerasan atas nama agama.
Sekarang saya bisa menghapuskan kedua “koma” pada judul tulisan ini, sehingga ia terbaca sebagai “Agama Simbol Sunyi”. Agama adalah simbol bagi yang-tak-terbahasakan, bagi yang-suci dan sunyi itu. Kini saya membayangkan Beanstalk berkarya lagi tentang yang-suci dan sunyi itu. Karya-karya yang akan mendorong kerendahan hati dalam bertuhan dan beragama. Sehingga makin banyak orang tak mengklaim konsep sendiri tentang tuhan dan agama sebagai paling baik dan benar.
*] Donny Danardono adalah pengajar filsafat di FH dan PMLP [Program Magister Lingkungan dan Perkotaan] Unika Soegijapranata, Semarang.
Sabtu, 12 Maret 2011
Drawing pen
ksatria penunggang angin
si kepala "garu"
executor
planet hitam
pertarungan
benih
ufotaria
machine man
Jumat, 19 November 2010
Welcome Home
Dari Beanstalk
Kenyataannya, menjadi seni rupawan tidaklah mudah. Untuk itu dibutuhkan keberanian, kecerdasan tertentu, dan konsistensi berkarya, atau seniman bisa saja lenyap tak berbekas dalam praksis kesenirupaan yang digelutinya.
Seniman muda tumbuh dan tumbang, silih berganti, senantiasa mewarnai sejarah berkesenian suatu kota. Permasalahan laten ini dekat dan menjadi bagian dari keseharian kami. Beanstalk kembali hadir (pameran ketiga) dengan amatannya terhadap fenomena tersebut. Ruang pamer diandaikan sebagai ruang tempat para seni rupawan muda berinteraksi.
Aris Yaitu menampilkan karya instalasi yang berkisah tentang jalan panjang penuh pengorbanan. Dia juga menyajikan sejumlah drawing, yakni permainan bentuk yang terangkai sebagai suatu narasi/cerita. Nasay Saputra konsisten dengan karya-karya komiknya yang sarat kritik. Tommas Titus Kurniawan memamerkan foto-foto surealistik dengan sentuhan grafikal. Ini suatu upaya olah pikir semiotis.
Sosok terakhir ialah Wisnu Baskoro. Dia sempat raib dari Beanstalk karena bingung menentukan masa depannya di dunia seni. Kali ini dia hadirkan karya-karya yang menyuarakan jeritan hatinya sebagai seniman muda di simpang jalan.
Menggeluti dunia seni ibarat menapaki absurditas. Kami cemas, kami bertanya, apakah realistis menggeluti dunia seni.
Pameran ini didedikasikan bagi kawan Baskoro. Welcome home!
Drawing pen
Minggu, 19 September 2010
"Puasa hari ini"
"Tiga Jajaka"
Size
Instalasi, Mix media
Aris Yaitu 2010
Aris Yaitu 2010
http://mcetak.suaramerdeka.com/PUBLICATIONS/SM/SM/2010/09/05/ArticleHtmls/Puasa-Seni-Rupa-05092010015025.shtml?Mode=1
"Berita hari ini, Kebebasan dan kemerdekaan"
Size 21 X 30 cm
My Name Is Aris Yaitu
Size 50 X 70 cm
Mix media on canvas
Sold
Sold
Melintas Batas
Donny Danardono*]
Kisah Aris Yaitu—pelukis muda yang pada 20 Mei-12 Juni 2010 lalu berpameran di toko buku Togamas, Jalan MT Haryono 872, Semarang—adalah kisah pelintas batas. Pameran bertema “My Name Is Aris Yaitu” itu seakan menegaskan keseriusannya memasuki wilayah barunya: seni rupa.
Namun, Aris adalah sebuah gerak. Kepada saya, yang mengkuratori pamerannya, ia menyatakan, secara langsung dan tak langsung dididik oleh para seniman yang pameran dan residensi di RSY.
RSY—berdiri 2005 dan tutup 6 Januari 2010—adalah geleri seni yang antara lain memamerkan karya-karya Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Entang Wiharso, Dadang Christanto, Krisna Murti, I Made Aswino Aji, dan Hamad Khalaf dari Kuwait. Mereka adalah para seniman kontemporer, yang di Indonesia dipelopori oleh Gerakan Seni Rupa Baru (GRSB).
GRSB—berdiri 1975 dan tak lepas dari pengaruh Joseph Beuys, Andy Warhol dan Marchel Duchamp—adalah gerakan seni rupa yang menawar dikotomi hirarkis media-media seni dan estetika. Bagi GRSB lukisan bisa menyatu dengan patung (“Ken Dedes”-nya Jim Supangkat), dengan fotografi (lukisan realisme-fotografis Dede Eri Supria) atau dengan instalasi (“Pasar Raya”). GRSB menawar batas fine art dan pop art. Estetika tak lagi merupakan pengalaman universal, tetapi terkait dengan ruang dan waktu. Seni bukan bahasa universal, tetapi strategi representasi diri dan kelompok. Maka, menikmati sebuah karya seni mengandaikan pengetahuan tentang individu dan masyarakat tertentu (Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966).
Batas dan Heterotopia
Jadi, seni rupa kontemporer membentuk ide dan goresan Aris. Lukisan-lukisan yang dipamerkan itu adalah strateginya mengubah kertas dan kanvas menjadi ruang penata berbagai obyek dan warna dalam beragam makna. Ia seperti juru peta (kartografer) yang menawar, menerabas dan memastikan batas fisik-metaforis ruang identitasnya.
Batas—betapapun luasnya—adalah ruang yang tak dikuasai oleh satu identitas tertentu. Ia tak bertuan. Ia muncul dari dan berdiri di antara oposisi dualistik identitas: kita-mereka, pria-wanita, suci-profan, gila-waras, desa-kota, atau warga asli-pendatang. Batas mengubah dan memastikan hal-hal pembentuk identitas. Ia—seperti kata Geraldine Pratt dalam “Geographies of Identity and Difference: Marking Boundaries” (1999)—adalah ruang negosiasi identitas yang tak pernah usai. Jadi, pada dirinya sendiri, batas itu cair dan selalu bergeser.
Untuk mengenali batas, kita bisa menelaah “Of Other Spaces” (1986)—sebuah naskah ceramah Michel Foucault pada para arsitek—yang menjadi salah satu inspirasi Edward W. Soja, seorang geografer postmarxist, menulis The Thirdspace (1996) yang adalah “in-between space”.
Foucault bilang, bahwa suatu ruang (topos; Yunani) akan memperoleh maknanya dalam relasinya dengan utopia dan heterotopia. Utopia adalah imaji tentang masyarakat atau individu. Ia adalah ruang-tak-nyata. Sementara heterotopia (ruang lain) adalah ruang-nyata yang merepresentasikan utopia secara terbalik. Jadi, heterotopia adalah sekaligus ruang-nyata dan tak-nyata. Heterotopia membuat mereka, di ruang fisik tertentu, bisa merekonstruksi dan memastikan makna ruang dan identitasnya.
Heterotopia itu—kata Foucault—ibarat cermin. Pada cermin kita bisa melihat “bayangan” ruang, benda dan diri. Itu aspek utopis cermin, yakni kemampuannya menampilkan “bayangan”—sesuatu yang tak eksis. Namun, di cermin yang sama kita juga bisa mematut diri, yakni mengenali bayangan diri, lalu merekonstruksi dan meneguhkan identitas diri. Jadi, cermin adalah sekaligus ruang-nyata dan tak-nyata.
Maka, ruang bukan hanya tak bisa nyata pada dirinya sendiri, ruang juga bukan wadah yang terpisah dari isinya. “Ruang” dan “isi” adalah metafor-metafor yang baru jelas maknanya dalam relasi timbal-baliknya. Dan studi heterotopia akan menginformasikan pergeseran ruang, maknanya dan identitas diri.
Foucault mencontohkan enam bentuk heterotopia yang adalah batas identitas atau yang disebut oleh Edward W. Soja sebagai “in-between space”. Itu sebabnya Foucault meneliti klinik (ruang yang menggeser dan memastikan batas sakit/sehat atau gila/waras), penjara (ruang penjaga kategori kejahatan) atau motel (ruang pengabur batas moralitas). Ketiganya adalah contoh “in-between space” di masyarakat modern.
Sungguh, di pembukaan pameran itu, Aris tampak rileks dan wajar saat menyapa dan menjawab para hadirin, seniman dan wartawan. Ia seperti mendapat identitas dan ruang sosial baru.
Melintas Batas
Pada “Kadang Aku Menunduk atau Terpaksa Menunduk” ia melukis sesosok wanita (ibu) yang berdiri di horison dan seorang pemuda yang tertunduk berjalan ke arahnya. Wanita bertubuh besar itu seperti raksasa penjaga batas kesopanan. Sedangkan pada “Semua Orang Mengajarkan Rendah Hati” tergambar dua orang menundukkan dua kepala lainnya, dan sepotong wajah di sebuah kotak mengamati mereka. Kedua lukisan itu seakan menjadi caranya menawar superegonya.
Sementara di seri “Minuman Perayaan” yang riang itu ia menggambar belalai gajah di depan dua botol minuman, cawan berbentuk jantung dan tulisan absolute, cawan jingga, dan kepala raksasa bermata besar dengan mulut menganga di depan cawan. Tetapi di “The Spirit of Me” ia menggambar seorang pria memanggul batu besar ala kisah Sisiphos yang dikutuk menanggung beban. Seakan ia bertanya, bisakah menerabas kepatutan yang diajarkan padanya dan menikmati hidup sehabis-habisnya?
*] Donny Danardono adalah pengajar filsafat di FH dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata, Semarang.
Tulisan ini di muat di koran Suara Merdeka.(Bianglala) /minggu,13/6/2010
http://cetak.kompas.com/read/2010/05/26/17132286/seniman.muda.pun.menggeliat...
http://cetak.kompas.com/read/2010/05/26/17132286/seniman.muda.pun.menggeliat...
"Kadang aku harus menunduk, atau terpaksa menunduk"
Size
Mix media on paper
Sold
|
"lingkaran hitam" mix media on paper |
"Colour of love"
Size 21 X 30 cm
Langganan:
Postingan (Atom)