Size 50 X 70 cm
Mix media on canvas
Sold
Sold
Melintas Batas
Donny Danardono*]
Kisah Aris Yaitu—pelukis muda yang pada 20 Mei-12 Juni 2010 lalu berpameran di toko buku Togamas, Jalan MT Haryono 872, Semarang—adalah kisah pelintas batas. Pameran bertema “My Name Is Aris Yaitu” itu seakan menegaskan keseriusannya memasuki wilayah barunya: seni rupa.
Kata “Yaitu” dibelakang nama pertamanya berkisah banyak tentang itu. Ia lahir di sebuah desa di Wonosobo pada 1989. Pada 2005 ia ikut ibunya ke Semarang dan menjadi asisten Tubagus P. Svarajati, pemilik dan direktur Rumah Seni Yaitu (RSY). Ia menjaga dan membersihkan galeri, menata karya-karya seni yang mau dipamerkan, menerima tamu dan selalu lirih saat bertegur-sapa. Ia tinggal di belakang galeri.
Namun, Aris adalah sebuah gerak. Kepada saya, yang mengkuratori pamerannya, ia menyatakan, secara langsung dan tak langsung dididik oleh para seniman yang pameran dan residensi di RSY.
RSY—berdiri 2005 dan tutup 6 Januari 2010—adalah geleri seni yang antara lain memamerkan karya-karya Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Entang Wiharso, Dadang Christanto, Krisna Murti, I Made Aswino Aji, dan Hamad Khalaf dari Kuwait. Mereka adalah para seniman kontemporer, yang di Indonesia dipelopori oleh Gerakan Seni Rupa Baru (GRSB).
GRSB—berdiri 1975 dan tak lepas dari pengaruh Joseph Beuys, Andy Warhol dan Marchel Duchamp—adalah gerakan seni rupa yang menawar dikotomi hirarkis media-media seni dan estetika. Bagi GRSB lukisan bisa menyatu dengan patung (“Ken Dedes”-nya Jim Supangkat), dengan fotografi (lukisan realisme-fotografis Dede Eri Supria) atau dengan instalasi (“Pasar Raya”). GRSB menawar batas fine art dan pop art. Estetika tak lagi merupakan pengalaman universal, tetapi terkait dengan ruang dan waktu. Seni bukan bahasa universal, tetapi strategi representasi diri dan kelompok. Maka, menikmati sebuah karya seni mengandaikan pengetahuan tentang individu dan masyarakat tertentu (Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966).
Batas dan Heterotopia
Jadi, seni rupa kontemporer membentuk ide dan goresan Aris. Lukisan-lukisan yang dipamerkan itu adalah strateginya mengubah kertas dan kanvas menjadi ruang penata berbagai obyek dan warna dalam beragam makna. Ia seperti juru peta (kartografer) yang menawar, menerabas dan memastikan batas fisik-metaforis ruang identitasnya.
Batas—betapapun luasnya—adalah ruang yang tak dikuasai oleh satu identitas tertentu. Ia tak bertuan. Ia muncul dari dan berdiri di antara oposisi dualistik identitas: kita-mereka, pria-wanita, suci-profan, gila-waras, desa-kota, atau warga asli-pendatang. Batas mengubah dan memastikan hal-hal pembentuk identitas. Ia—seperti kata Geraldine Pratt dalam “Geographies of Identity and Difference: Marking Boundaries” (1999)—adalah ruang negosiasi identitas yang tak pernah usai. Jadi, pada dirinya sendiri, batas itu cair dan selalu bergeser.
Untuk mengenali batas, kita bisa menelaah “Of Other Spaces” (1986)—sebuah naskah ceramah Michel Foucault pada para arsitek—yang menjadi salah satu inspirasi Edward W. Soja, seorang geografer postmarxist, menulis The Thirdspace (1996) yang adalah “in-between space”.
Foucault bilang, bahwa suatu ruang (topos; Yunani) akan memperoleh maknanya dalam relasinya dengan utopia dan heterotopia. Utopia adalah imaji tentang masyarakat atau individu. Ia adalah ruang-tak-nyata. Sementara heterotopia (ruang lain) adalah ruang-nyata yang merepresentasikan utopia secara terbalik. Jadi, heterotopia adalah sekaligus ruang-nyata dan tak-nyata. Heterotopia membuat mereka, di ruang fisik tertentu, bisa merekonstruksi dan memastikan makna ruang dan identitasnya.
Heterotopia itu—kata Foucault—ibarat cermin. Pada cermin kita bisa melihat “bayangan” ruang, benda dan diri. Itu aspek utopis cermin, yakni kemampuannya menampilkan “bayangan”—sesuatu yang tak eksis. Namun, di cermin yang sama kita juga bisa mematut diri, yakni mengenali bayangan diri, lalu merekonstruksi dan meneguhkan identitas diri. Jadi, cermin adalah sekaligus ruang-nyata dan tak-nyata.
Maka, ruang bukan hanya tak bisa nyata pada dirinya sendiri, ruang juga bukan wadah yang terpisah dari isinya. “Ruang” dan “isi” adalah metafor-metafor yang baru jelas maknanya dalam relasi timbal-baliknya. Dan studi heterotopia akan menginformasikan pergeseran ruang, maknanya dan identitas diri.
Foucault mencontohkan enam bentuk heterotopia yang adalah batas identitas atau yang disebut oleh Edward W. Soja sebagai “in-between space”. Itu sebabnya Foucault meneliti klinik (ruang yang menggeser dan memastikan batas sakit/sehat atau gila/waras), penjara (ruang penjaga kategori kejahatan) atau motel (ruang pengabur batas moralitas). Ketiganya adalah contoh “in-between space” di masyarakat modern.
Sungguh, di pembukaan pameran itu, Aris tampak rileks dan wajar saat menyapa dan menjawab para hadirin, seniman dan wartawan. Ia seperti mendapat identitas dan ruang sosial baru.
Melintas Batas
Aris mengibaratkan lukisan-lukisannya sebagai buku harian tempat mencurahkan rasa marah, sedih, kecewa dan gembira. Maka, media lukisnya adalah apa saja: kanvas, kertas, cat air, cat minyak, akrilik, dan bolpoin. Tekniknya juga apa saja: sapuan kuas, palet, arsir dan sablon. Sehingga ide bisa dituangkan sembari mengikuti karakter benda-benda itu. Melukis jadi seperti menari, yakni memaknai ruang dengan gerak dan warna, juga menerabas batas-batas maknanya. Katanya: “Melukis adalah sebuah momen yang menggembirakan dan membebaskan. Saya seperti di dunia lain”.
Pada “Kadang Aku Menunduk atau Terpaksa Menunduk” ia melukis sesosok wanita (ibu) yang berdiri di horison dan seorang pemuda yang tertunduk berjalan ke arahnya. Wanita bertubuh besar itu seperti raksasa penjaga batas kesopanan. Sedangkan pada “Semua Orang Mengajarkan Rendah Hati” tergambar dua orang menundukkan dua kepala lainnya, dan sepotong wajah di sebuah kotak mengamati mereka. Kedua lukisan itu seakan menjadi caranya menawar superegonya.
Sementara di seri “Minuman Perayaan” yang riang itu ia menggambar belalai gajah di depan dua botol minuman, cawan berbentuk jantung dan tulisan absolute, cawan jingga, dan kepala raksasa bermata besar dengan mulut menganga di depan cawan. Tetapi di “The Spirit of Me” ia menggambar seorang pria memanggul batu besar ala kisah Sisiphos yang dikutuk menanggung beban. Seakan ia bertanya, bisakah menerabas kepatutan yang diajarkan padanya dan menikmati hidup sehabis-habisnya?
*] Donny Danardono adalah pengajar filsafat di FH dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata, Semarang.
Tulisan ini di muat di koran Suara Merdeka.(Bianglala) /minggu,13/6/2010
http://cetak.kompas.com/read/2010/05/26/17132286/seniman.muda.pun.menggeliat...
http://cetak.kompas.com/read/2010/05/26/17132286/seniman.muda.pun.menggeliat...
"Kadang aku harus menunduk, atau terpaksa menunduk"
Size
Mix media on paper
Sold
|
"lingkaran hitam" mix media on paper |
"Colour of love"
Size 21 X 30 cm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar