Artwork : Aris Yaitu 2012
Gerak Gambar
Donny Danardono*]
Seni rupa, dalam hal ini seni lukis kontemporer,
tak lagi bergerak di kelurusan hubungan antara isi dan bentuk karya. Ia bahkan
tak membedakan keduanya. Sebab ia bisa merupakan goresan horisontal, vertikal,
diagonal, atau melingkar tanpa rencana saat menggambarkan gerak jiwa senimannya.
Setelahnya si seniman baru tahu apa yang ia sampaikan, walau tak sepenuhnya.
Seni rupa kontemporer juga bisa merupakan simbolisasi ide seniman tentang
sebuah persoalan. Tapi baik goresan tanpa rencana maupun simbolisasi ide itu
akan meluweskan seniman dalam memilih media sebagai “wadah” idenya itu.
Sebenarnya istilah “wadah” ini tak begitu tepat,
sebab setiap karya adalah sintesa dari dialektika antara isi dan wadah
(bentuk). Sebuah dialektika yang―seperti ditulis oleh W.J.T. Mitchell dalam “Showing Seeing: a Critique of Visual Culture”―tak
usai saat karya itu selesai digarap dan dipamerkan, tapi juga saat pemirsa
menatapnya. Sebuah dialektika yang menggoda dan membarui kehidupan seniman dan pemirsanya.
Kiranya berbagai gambar karya Agung Yuliansah dan
Aris Yaitu―yang dipamerkan di Galeri
Garasi Widya Mitra, sebuah lembaga Indonesia-Belanda di Semarang, pada 24
September-13 Oktober 2012―yang bertema “Trauma
di Kelokan” ini memenuhi konsep itu. Samuel Sugiarto, alumnus ISI
Yogyakarta, meningkahi pembukaan pameran ini dengan memainkan gitar, biolin dan
block flute.
Kegelapan dan Harapan
Kali ini Aris Yaitu (23)―yang nama dan karyanya
mulai akrab di publik Semarang dan Yogyakarta―memajang karya-karya yang secara
teknis lebih matang dari sebelumnya. Kepada saya, Aris mengaku kerap tak tahu
apa yang tengah ia gambar dan bagaimana gambar itu jadi. Baginya menggambar
adalah memvisualkan apa yang ia rasakan, pikirkan, dengar atau alami. Maka, ia
lega saat membuat goresan dan terutama saat karyanya rampung. “Dalam menggambar
saya menemukan kebebasan yang sesungguhnya,” ujarnya.
Proses kreatif Aris itu menunjukkan bahwa
menggambar bukan sekedar memvisualkan ide. Ia tak tahu kemana gerak goresannya
itu. Menggambar lebih mirip melahirkan, tanpa lebih dahulu mengetahui wujud
dari yang mau dilahirkan itu. Menggambar adalah gerak dalam gelap untuk
mewujudkan ide yang juga gelap. Tak ada satu konsep filosofis yang
membimbingnya saat menggambar.
Tapi gerak dalam gelap itu membuatnya asyik. Ia
merasa menemukan kebebasan sesungguhnya saat dan setelah menggambar. Jadi,
sebagai juru gambar, subyektivitas Aris―mengutip Alain Badiou dalam Theory of the Subject―senantiasa tertunda.
Subyektivitasnya hanya jelas sejenak, yaitu saat ia menyelesaikan gambar-gambarnya.
Tapi subyektivitas itu akan diperbarui lagi saat ia menggambar dalam gerak yang
gelap untuk mewujudkan ide yang juga gelap.
Kegelapan ide dan bentuk itu tampak dalam berbagai
gambar yang memadukan strategi realisme dan modernisme abstrak ini. Sebuah
perpaduan yang mewujud dalam simbolisasi kekerasan. Lihat karyanya yang
berjudul Luka, Trauma, Isi Ulang, Pertarungan Sang Tuan, You Are Next dan War. Simbolisasi itu juga mewujud dalam mata yang ada di mana-mana
untuk mengawasi dan mendisiplinkan perilaku.
Strategi menggambar seperti ini menunjukkan: meskipun Aries dan kita tak
menyukai kekerasan, tapi sering kali kita tak mampu menghindarinya. Ini adalah
sebuah posisi yang traumatis. Trauma menempatkan seseorang dalam kegelapan. Di
tempat itu ia tak mampu membedakan yang baik dari yang buruk atau yang benar
dari yang salah. Namun toh Aris tetap
menggambar Bertukar Pikir dan Harapan.
Simulakra Kehadiran
Lain Aris Yaitu,
lain Agung Yuliansah (43). Agung
memberi judul karyanya “Yang Hadir dalam Belokan”. Ia mengaku mendapat
inspirasi dari konsep Jean Baudrillard―filsuf postmodern Prancis itu―tentang
simulakra. Dalam dunia simulakra manusia tak bisa lagi menemukan yang otentik.
Semua adalah tiruan atas tiruan. Maka kenyataan adalah kehadiran berdasarkan ungkapan
tertentu. Semua adalah realitas yang berlebih (hiperrealitas).
Berita TV dan koran, walau telah lewat double-checking, tak akan bisa
menyampaikan obyektivitas sebuah peristiwa. Bukan hanya karena berita itu harus
dikemas dalam ungkapan-ungkapan yang patut, tapi terutama karena ia harus disampaikan
dalam bahasa yang terbatas. Bagaimana kita bisa mengungkapkan “mati kunduran truk” dalam bahasa
Indonesia tanpa menimbulkan imaji yang lain dari imaji mereka yang berbahasa
Jawa?
Agung menggambar garis vertikal-horisontal-diagonal
dan titik-titik yang kerap tak mewujud sebagai apa pun. Karyanya juga bisa
berupa kertas yang dilubangi dalam bentuk tertentu. Ia juga menggambar wujud
tertentu: manusia bersayap yang mirip malaikat, jantung, burung atau tanda
hitung plus dan minus. Semua itu ia namai simulakra.
Tapi, saya punya kesan, Agung menyesali dunia
simulakra ini. Untuk itu ia mengutip Karl Marx yang menyesali lenyapnya
nilai-nilai luhur akibat komoditifikasi kapitalisme. Ia juga mengutip
Baudrillard yang, menurutnya, mengatakan bahwa manusia tak hanya menyebarkan,
tapi juga membuat dan merekayasa realitas.
Karena itu karya-karyanya tampil sebagai kritik
terhadap dunia komoditas dan simulakra. Goresannya tak segelap goresan Aris, sebab
goresan itu dibimbing oleh sebuah ide yang jelas. Sebuah ide yang―mengutip René
Descartes―clara et distincte: jelas
dan terpilah. Konsekuensinya, saat menggambar Agung adalah seorang pengkritik
yang beridentitas utuh dan jelas.
Gerak Gambar
Benarkah Baudrillard menyesali dunia simulakra
atau ia justru berusaha mengungkap sebuah realitas baru, realitas rekaan, yang
selama ini belum kita ketahui? Saya kira Baudrillard tak sedang mencemooh kita
yang hidup di era komoditas. Ia justru membantu kita menyadari
ketidak-otentikan subyektifitas dan segala karya kita. Ia menganjurkan sebuah
manipulasi-kreatif yang positif, bukan yang menistakan.
Maka, bisakah karya seni merepresentasikan
kesadaran utuh senimannya? Bukankah pemirsanya masih mesti menafsir berdasarkan
pengalaman pribadinya? Konsep simulakra Baudrillard, saya kira, mendorong
kemampuan seniman dan penikmat untuk memahami tak mungkinnya seni adi-luhung (fine art). Seni adalah proses mengungkap
pengalaman secara berbeda dari menulis dan bertutur. Estetika adalah daya
sentuh emosional sebuah karya. Sebuah karya akan berhasil bila bisa membangkitkan
keharuan, kejengkelan, kemarahan atau kegelian penikmat.
Maka, sesungguhnya karya Aris Yaitu tak sepenuhnya
berangkat dari kegelapan. Pilihan format kertas A4 atau lebih kecil dari itu,
disadari atau tidak, merupakan strategi jitu untuk menarik penikmat kelas
menengah yang lebih akrab dengan mal dan café
daripada galeri seni rupa. Dalam format kertas itu karya-karya Aris dan Agung
tampil sebagai kartupos yang populer, bukan sebuah karya seni adi-luhung, tapi
dengan pesan yang mampu membarui kehidupan penikmatnya.
Apalagi dalam pembukaan pameran ini, Samuel
Sugiarto dengan gitar, biolin dan block
flute memainkan lagu-lagu pop, klasik dan healing sound bukan unjuk ketrampilan bermain alat musik atau bermusik,
tapi sebagai proses soul-healing.
Semua ini akan mencairkan suasana galeri, sehingga bisa ramah terhadap lebih
banyak pengunjung.
Dalam suasana seperti itulah sebuah gambar
bergerak. Gerakan yang berawal dari saat ia dalam proses penciptaan maupun saat
ia membentuk ulang subyektivitas seniman dan para penikmatnya.
*] Donny Danardono adalah pengajar Filsafat Ruang di
PMLP [Program Magister Lingkungan-Perkotaan] Unika Soegijapranata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar